Beberapa bulan terakhir aku mencoba menata ulang cara belajar di rumah. Bukan dengan buku tebal atau catatan panjang yang bikin mata perih, tapi lewat eksperimen DIY STEM yang praktis, seru, dan kadang lucu. Rumah kami jadi semacam studio kecil: meja kayu yang belepotan kertas gambar, botol-botol bekas berjejer rapi, kabel yang terjuntai seperti lampu natal, dan suara gelak tawa saat percobaan berjalan timpang di awal. Aku belajar, anak-anak belajar, bahkan tetangga tetiba ikut penasaran. Dari situ aku memahami bahwa belajar STEM tidak hanya soal teori, tapi tentang bagaimana anak-anak merasakan dunia sains sebagai sesuatu yang bisa mereka sentuh, uji, dan buat sendiri.
Apa itu DIY STEM dan mengapa ia penting?
DIY STEM adalah pendekatan belajar yang menggabungkan tiga komponen utama: materi (S), teknik (T), dan eksperimen langsung (E) yang bisa dilakukan sendiri atau bersama teman sebaya. Yang membuatnya terasa spesial adalah unsur proses, bukan hanya hasil akhir. Ketika anak-anak merakit rangkaian sederhana, memindahkan air lewat saringan, atau menanam tanaman hidroponik kecil di botol bekas, mereka tidak hanya menghafal rumus. Mereka melihat bagaimana variabel bekerja, apa yang terjadi jika kita mengubah jumlah air, ketinggian lubang, atau kecepatan aliran. Rasanya seperti melihat pola di balik layar dunia nyata, bukan membaca petunjuk dari buku tebal semata. Aku sering melihat mata mereka berbinar saat menyadari bahwa konsep fisika, kimia, atau biologi bisa hadir dalam hal-hal yang tampaknya sederhana—seperti bagaimana es batu meleleh lebih cepat jika kita mengaduk larutan gula atau bagaimana warna pewarna bisa bergerak melalui kertas saring.
Dalam banyak kasus, DIY STEM juga mengajari anak-anak bagaimana menyelesaikan masalah secara prosesif: merencanakan langkah-langkah, mencoba satu pendekatan, mengukur hasil, lalu menyesuaikan rencana. Itu bukan sekadar latihan teoretis; itu pelatihan pola pikir. Ketika mereka gagal, ada ruang untuk refleksi: apa yang salah, bagaimana kita bisa mencoba cara lain, apakah kita perlu alat yang lebih tepat, kapan kita perlu meminta bantuan guru atau orang dewasa. Suara langkah kaki di lantai kayu, detak jam dinding yang agak lambat, dan tawa kecil yang keluar setelah percobaan gagal, semua itu menciptakan suasana pembelajaran yang manusiawi dan penuh empati. Dan ya, ada juga momen heroik ketika segelas air tidak tumpah, ketika LED menyala dengan terang setelah kabel diatur ulang—momen kecil itu terasa seperti kemenangan besar bagi mereka yang sedang belajar.
Saat belajar dengan cara ini, aku juga menemukan bahwa ada banyak sumber ide yang bisa jadi pintu masuk yang menarik. Saya sering menyelipkan variasi proyek yang bisa disesuaikan dengan usia dan minat masing-masing anak. Dari eksperimen fisika sederhana tentang gerak dan gaya, hingga eksperimen biologi tentang tanaman yang tumbuh di lingkungan kecil, semuanya bisa dilakukan tanpa alat mahal. Bahkan untuk orang tua yang baru pertama kali mencoba, ada kenyamanan: banyak proyek bisa memanfaatkan bahan sehari-hari yang ada di rumah, sehingga tidak perlu menyiapkan serangkaian peralatan laboratorium sepanjang hari. Di titik ini, DIY STEM terasa bukan beban, melainkan sebuah perjalanan kreatif yang menyatukan keluarga di meja makan menjadi zona eksperimen yang penuh kejutan.
Saya pernah menemukan sumber ide yang cukup membantu dalam perjalanan ini: zecprojects. Tempat itu memberi gambaran proyek yang relatif sederhana namun tetap menantang secara pemikiran, cocok untuk dicoba di akhir pekan ketika suasana rumah agak santai. Rasanya seperti memiliki teman yang terus mendorong kita untuk mencoba hal baru tanpa merasa terbebani. Pengalaman kecil semacam itu membuat upaya belajar terasa lebih berwarna, lebih manusiawi, dan tentunya lebih menyenangkan.
Ekh-eksperimen yang mengubah cara pandang pelajar?
Di antara semua eksperimen yang kami coba, ada beberapa yang cukup mengubah cara pandang anak-anak terhadap belajar. Misalnya, projek saringan air sederhana yang menggunakan minyak, air, dan pewarna buatan. Mereka menyadari bagaimana permukaan minyak berperilaku berbeda dengan air, lalu bertanya-tanya mengapa lapisan-lapisan itu bisa memisahkan partikel-partikel kecil. Mereka juga belajar memahami konsep sirkuit dasar dengan membuat rangkaian LED sederhana menggunakan baterai, kabel, resistor kecil, dan satu LED. Gelas plastik yang tadinya hanya untuk minum berubah menjadi papan eksperimen mini yang mengajari mereka tentang arus listrik, penalaran logika, dan ketelitian. Sembari mencatat hasil di buku catatan, mereka juga belajar sabar: tidak semua LED menyala pada percobaan pertama, ada yang flicker, ada yang redup, dan ada yang menyala tepat saat kita menyambungkan kabel pada kutub yang benar.
Yang menarik adalah bagaimana suasana hati berubah saat eksperimen berhasil. Di sore yang tenang, kami bisa merasakan semangat kompetisi sehat antara mereka, seperti adu cepat menuliskan hipotesis, meriksa kembali langkah-langkah, lalu melihat bukti fisik atas prediksi yang mereka buat. Ada juga momen-momen konyol: salah satu adik hampir menumpahkan air ke tumpukan kertas penting, dan semua orang tertawa, lalu langsung mengubah letak barang agar meja tidak lagi menjadi arena basah. Dari situ tumbuh rasa percaya diri: “Kalau kita bisa membuat listrik menyala dengan kabel seadanya, kita bisa memecahkan masalah lain juga.”
Proyek pelajar yang bisa dicoba di rumah
Yang paling penting adalah memulai dari hal kecil. Proyek-proyek sederhana seperti membuat barisan balok pengukur, membuat penanda suhu dari kertas lilin, atau menanam biji kacang dalam botol bekas bisa menjadi pintu gerbang untuk topik-topik yang lebih kompleks. Biarkan mereka memilih tema yang mereka suka—astronomi, lingkungan, atau robot sederhana—lalu bersama-sama merancang eksperimen, membuat hipotesis, dan menilai hasilnya. Suara tawa ketika melihat pola pewarnaan yang tidak terduga atau rasa penasaran ketika melihat bagaimana air bisa menembus tanah lebih dalam daripada yang diperkirakan, semua itu memperkaya proses belajar dengan cara yang tidak bisa didapat dari layar komputer semata.
Akhirnya, aku belajar bahwa kunci dari kisah DIY STEM bukan hanya pada alat dan langkah-langkah, melainkan pada budaya belajar yang tumbuh di sekitar meja keluarga. Ketika pertanyaan-pertanyaan dipuji, saat kegagalan dianggap bagian dari proses, dan saat kita semua bisa merayakan “aha moment” bersama-sama, pembelajaran menjadi sesuatu yang lebih hidup. Dan mungkin suatu hari nanti, saat mereka kembali mengingat masa-masa belajar di rumah, mereka tidak hanya mengingat rumus-rumus atau teori-teori, tetapi rasa ingin tahu yang tak pernah padam, pola pikir yang terbuka, dan kenangan manis saat eksperimen kecil membawa kebahagiaan besar bagi kita semua. Inilah kisah DIY STEM yang terus berjalan, satu proyek kecil pada satu waktu.