Sejak kecil gue suka eksperimen STEM yang bisa disentuh, bukan cuma dibaca di buku tebal. Catatan harian gue sekarang jadi blog tentang bagaimana seorang pelajar DIY edukatif mencoba berbagai eksperimen dan proyek pelajar yang bikin otak melek sambil nyeleneh tertawa. Ada rasa kagum, ada rasa jengkel, dan yang paling penting: ada proses belajar yang terasa nyata ketika ide-ide liar bisa jadi barang jadi di meja kerja sederhana di rumah. Malam-malam setelah pulang sekolah, gue sering menukar buku catatan dengan karton bekas, lakban, dan secuil semangat eksperimen yang siap direkonstruksi. Inilah cerita perjalanan gue dalam dunia STEM yang kadang liar, kadang kocak, tapi selalu menantang rasa suka ingin tahu.
Awal yang santai: motor DIY dari barang bekas
Hari itu gue pengin membuktikan bahwa listrik bisa berubah jadi gerak nyata, bukan sekadar angka-angka di lembar tugas. Gue ambil baterai AA bekas, kawat tembaga tipis, magnet dari mainan lama, dan satu papan sirkuit kecil yang biasa dipakai latihan solder. Tujuannya sederhana: bikin rotor yang bisa berputar dengan bantuan medan magnet. Prosesnya mirip menata puzzle liar: kabel kusut, isolasi kadang sobek, magnet terasa seperti tarik-menarik yang nggak karuan. Tapi setelah beberapa percobaan, rotor akhirnya berputar pelan, dan gue merasa seperti penyelam yang menemukan harta karun di sela-sela alat tulis. Pengalaman ini ngingetin gue bahwa eksperimen itu soal mencoba-coba, mencatat mana yang bekerja, dan mengapa itu bisa terjadi. Humor kecilnya: dada berdetak super cepat tiap kali kabel masuk akal, lalu pada akhirnya jadi motor kecil yang lucu.
Selain itu, gue belajar soal persiapan. Penataan meja, kabel yang diberi label warna-warni, dan pentingnya menjaga keselamatan—pakai sarung tangan bisa bikin gaya, tapi juga ngobatin rasa penasaran. Kamar kecil gue jadi laboratorium mini: botol bekas, kabel-kabel berkelindan, dan lem yang menempel di semua permukaan. Ketika rotor akhirnya berputar, gue tertawa sendiri, lalu mencatat langkah-langkah yang bisa direplikasi teman sebaya. Tujuan utama bukan hanya membuat motor, melainkan membangun kebiasaan mendokumentasikan proses: gambar skematik, catatan pengamatan, dan evaluasi singkat tentang apa yang bisa ditingkatkan. Biar kelas dan teman-teman juga bisa ikut mengekspresikan rasa ingin tahu mereka.
Pelayaran cahaya: bikin pinhole camera dari kotak susu
Selanjutnya gue penasaran bagaimana cahaya membentuk gambar. Gue pakai kotak susu bekas, selembar aluminium, lem, dan sedikit kreativitas. Rencana sederhananya: buat lubang kecil sebagai lensa, tutupi sisi lain supaya cahaya hanya lewat lewat lubang itu, lalu lihat hasilnya di balik layar putih. Prosesnya nggak mulus: lubang terlalu besar, bayangan terlalu buram, dan kardusnya suka basah karena embun. Tapi itu bagian serunya: memperbaiki ukuran lubang, menjaga kebersihan permukaan, serta mencatat jarak fokus dan hasil gambar untuk setiap percobaan. Saat gambar pertama muncul seperti sidik jari cahaya di balik kotak, gue ngerasa ada jendela kecil yang terbuka ke dunia optik. Gue pun nyadar bahwa belajar fotografi zaman dulu bisa jadi alat pembelajaran fisika yang menyenangkan di rumah, tanpa perlu kamera mahal.
Kalau kamu pengin lihat sumber ide proyek yang bervariasi, kamu bisa cek referensi ide di zecprojects. Gue sengaja menambahkan satu rujukan supaya perjalanan ini tidak cuma ngikutin satu sumber saja. Sambil gue eksperimen, gue juga mulai menuliskan pengamatan: ukuran lubang, jarak fokus, serta suhu ruangan yang bisa mempengaruhi hasil gambar. Hal-hal kecil seperti garis pandang, bidang bayangan, atau kualitas permukaan layar ternyata punya dampak besar pada gambaran akhir. Dan ini bikin gue paham bahwa sains itu soal detail, meskipun terlihat seperti rencana liburan yang sering berubah-ubah.
Proyek DIY yang bikin kelas jadi hidup
Gue akhirnya mencoba proyek yang bisa direplikasi di kelas: rangkaian breadboard, sensor sederhana, dan microcontroller murah. Tugasnya sederhana: buat alarm pintu yang nyala saat pintu terbuka. Gue mulai dari rangkaian dasar, menempelkan LED, resistor, dan sensor magnetik. Hasil pertamanya adalah kegagalan yang lucu: LED nyala tiap jam tiga pagi, padahal pintunya nggak lewat—ternyata kabel terbalik. Butuh beberapa kali perbaikan sampai kode sederhana berjalan: kalau sensor terbaca, LED menyala. Rasanya seperti merakit teka-teki raksasa dengan potongan-potongan yang kadang hilang di kursi sofa. Proyek ini bukan cuma soal teknis, tapi juga bagaimana gue menulis catatan pengamatan, membuat diagram sederhana, dan membagi pembelajaran ke teman-teman sebaya. Keringat, tawa, dan secangkir teh hangat jadi teman setia saat gue menata kabel-kabel yang berkelok di atas meja belajar.
Pengalaman ini membentuk pola belajar gue: eksperimen itu cerita berujung pada laporan yang jelas, bukan sekadar tugas selesai lalu dilupakan. Gue jadi lebih rajin membuat catatan langkah demi langkah, menyertakan gambaran kegagalan, dan menuliskan refleksi singkat tentang apa yang bisa ditingkatkan. Dan ya, gue belajar menerima kekecewaan kecil seperti gagal membuat rangkaian berfungsi pada percobaan pertama—karena dari situ gue bisa menemukan versi yang lebih baik untuk percobaan berikutnya.
Rencana masa depan: gimana kalau proyek ini bisa ditularkan?
Di akhir minggu gue mulai merancang paket proyek yang bisa dibawa ke sekolah teman-teman: panduan langkah demi langkah, lembar kerja sederhana, dan lembar evaluasi untuk guru maupun murid. Gue ingin proyek-proyek ini nggak jadi milik gue sendiri, tapi milik kita semua: pelajar yang ingin mencoba sains sambil bersenang-senang. Ide-ide seperti sensor cuaca sederhana, atau rumah mini yang bisa diuji terhadap cahaya, suhu, dan kelembapan, terdengar menantang namun menyenangkan. Yang penting adalah menjaga semangat trial-and-error: jangan takut gagal, karena kegagalan itu bagian dari proses belajar sambil melakukan. Gue berjanji bakal terus mendokumentasikan perjalanan ini, menambah konten yang relevan untuk teman-teman sebaya, dan tetap menjaga vibe santai ala diary—sebuah catatan harian yang mengingatkan kita bahwa ilmu bisa dipraktikkan tanpa harus jadi ribet atau mahal. Jadi, ayo lanjutkan perjalanan STEM kita: ada alat bekas yang bisa jadi alat belajar masa depan, dan kita adalah orang-orang yang berani mencoba.